Selasa, 11 Agustus 2009
KABAR ANGIN
Rabu, 01 Oktober 2008
teringat lagu dangdut
Masuk ke daerah Kusan Hilir dan Hulu serta daerah-daerah lainnya dan kemudian menyaksikan banyak hutan habis dan diganti dengan meluasnya padang ilalang, saya seringkali teringat sebuah lagu dangdut. Lagu dengan judul sama, Ilalang, menjadi menarik untuk direnungkan. Berikut syairnya:
ILALANG
Macicha Mochtar
ilalang, ilalang,
menghalangi pandangan
ilalang, ilalang,
jadi saksi cerita malam
ilalang, ilalang,
lihat langkahku goyang
ilalang, ilalang,
tak kuasa jiwa terguncang
benar cerita burung-burung
dirimu selalu berdusta
benar kata bisik angin
kau takkan pernah setia
bukan baru sekali ini
hatiku engkau sakiti
tapi baru kali ini
mataku menjadi saksi
ilalang, ilalang,
walau cintaku malang
ilalang, ilalang,
kutak akan putus harapan
(Beberapa tahun lalu, lagu ini begitu populer. Banyak orang menyukai dan bahkan larut oleh syairnya. Konon hal itu dipicu oleh nasib penyanyinya yang tengah menuntut keadilan pada orang - seorang petinggi di negeri ini - yang pernah memberinya seorang anak, walau hanya lewat nikah siri. Kok persis nasib Kalimantan dan mereka yang dengan semena-mena memerawaninya, ya?)
teriakan di depan lubang telinga
romantisme getir di pantai pagatan
tanpa kita sadari, benak kita telah penuh dengan gambaran yang senantiasa menghubungkan pantai dengan kesempatan untuk berlibur, keindahan yang mempesona, tempat di mana janji-kasih diucapkan dan segala hal yang romantik dan memabukkan.
dan gambaran semacam itu tidaklah sepenuhnya keliru. di pantai-pantai kita memang terdapat berbagai macam keindahan dan romantisme. di tempat itu juga penuh dengan ruang di mana kita bisa mereparasi kelelahan dan kesumpegan. namun di tempat yang sama, sebenarnya, juga terdapat erang mereka yang tengah menyabung nyawa untuk mencari sesuap nasi dan keluh-kesah mereka yang selalu luput menggenggam rejekinya.
maka janganlah kemudian merasa tak nyaman jika di tempat yang terlanjur ditabalkan sebagai lokasi setengah-surga itu kita bertemu dengan para perempuan nelayan yang berpakaian tak secerlang para selebritis yang tengah mandi matahari. juga jangan tak enak hati jika hidung kita tak disambut dengan aroma melati krim penawar sinar matahari.
mereka berdua - si perempuan kumal dan bau bacin - adalah para peri yang senantiasa membangunkan kita dari mimpi buruk. merekalah para bidadari yang senantiasa membangunkan kesadaran kita agar tak terjebak menjadi sebuah bangsa yang lebih suka mempermanis makam katimbang mempermakna kehidupannya.
syukur pada Allah yang telah mengirimkan 'malaikat'nya untuk menjaga kita.
salam! salam! salam!
LUKA, DUKA DAN BISU
ini bukan kabar baru. cerita panjang ini sudah lama ada. namun suaranya terpendam dalam-dalam oleh luka, duka dan kebisuan tanpa muka. kalau dia kemudian membuhul ke permukaan peradaban, itu hanya karena ridlaNya semata.
letikan itu bermula dari sebuah pantai sunyi di Pagatan. di sinilah semua luka, duka dan kebisuan itu bermuara. di sinilah seluruh nestapa itu bersekutu dan kemudian menyatukan doanya menjadi sebuah tekad untuk menindakkan langkah pertamanya menuju sebuah jaman baru yang lebih hirau pada kemanusiaan dan kehidupan baru yang lebih hormat terhadap cintaNya.
maka bangkitlah hai kaum berluka, berduka dan bisu! tampakkanlah dirimu dan sorongkan tangan-lemahmu! mari kita bergandengan dan berjuang menuju Kalimantan Tenggara nan jaya!